<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Konveksi Lokal Kian Terpinggirkan
Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra konveksi. Terdapat ratusan usaha konveksi rumahan (home industri) yang tersebar di Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru, Boyolangu, Kauman dan sekitarnya. Ratusan bahkan ribuan tenaga kerja menggantungkan harapan hidup dari usaha ini. Namun, kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan. Nasib sebagian pengusaha konveksi, terutama yang berskala kecil, semakin lama semakin terpuruk, karena permintaan pasar yang terus menurun. Kondisi ini diperparah dengan permainan para pemodal besar dalam menyediakan bahan seperti kain, benang dan bahan konveksi lainnya. Fatalnya lagi, sejak dibukanya perdagangan bebas, produk-produk konveksi dari luar daerah maupun luar negeri yang dipasarkan dengan harga murah, cukup leluasa masuk ke Tulungagung. Pengusaha konveksi lokal pun kalah bersaing, lantaran pasar sudah dikuasai produk luar. Akibatnya, mereka makin terpiggirkan dan bahkan sebagian diantaranya terancam gulung tikar. Seperti yang dialami Hariyanto, pemilik rumah konveksi di Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengaku, usaha konveksi yang digelutinya belum sepenuhnya berjalan maksimal. Selama ini dia hanya sebagai pembantu untuk menjahit orderan orang lain. “Saat ini mesin kita hanya dipakai ketika ada pesanan saja dan itupun kebanyakan merupakan orderan orang lain,”jelasnya. Hariyanto mengatakan, rata-rata pesanan datang dari sekolah-sekolah, sehingga untuk produksi sendiri harus menunggu musim sekolah tiba dan itupun sifatnya tahunan. “Kita biasanya memproduksi yang sifatnya musiman, seperti saat ajaran tahun baru tiba,”ungkapnya. Selama ini Hariyanto masih menjalankan produksinya kalau salah satu temannya ada yang dapat order dan menawarinya untuk membantu menyelesaikan orderannya. Itupun bisa didapat kalau temanya mempunyai orderan banyak, namun kalau sedikit biasanya dikerjakan sendiri. “Biasanya kita menjahit ketika ada teman kita mendapatkan order banyak, jadi kita bisa kebagian untuk membantu menyelesaikanya,”lanjutnya. Sebenarnya dia mempunyai mesin jahit sejumlah 6 unit, namun demikian tidak setiap harinya dapat memproduksi pakaian, karena kendala permodalan. “Maklum mas, walau usaha ini sudah berjalan 2 tahun, namun belum ada modal untuk mengembangkan produksi yang lebih besar,” tutur Hariyanto. Disamping modal, ia juga menghadapi kendala lain, yakni persaingan pasar yang menuntutnya untuk memberikan produk yang lebih baik. Sementara itu, pasar di lokal Tulungagung tidak memberinya kesempatan untuk bisa mengembangkan hasil produksinya. “Yang pasti persaingan industri sangat ketat, apa lagi harganya, semuanya bersaing,”tambahnya. Pemerintah Tulungagung pun sepertinya memberikan keleluasaan bagi para pemodal besar, sehingga meminggirkan pengusaha konveksi kecil. Di sisi lain, dengan maraknya produk garment (konveksi) dari luar negeri secara tidak langsung akan mematikan pasar produk konveksi lokal. Hal ini mengakibatkan usaha konveksi lokal menjadi lesu dan terancam gulung tikar. Bila ini terjadi lapangan pekerjaan pun semakin berkurang dan menyisakan banyak pengangguran. Pemerintah Perlu Ikut Mengontrol Hal yang sama dirasakan Hana Rianto, selaku pemilik konveksi asal Dusun Patik, Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengeluhkan kalau selama ini konveksi sudah tidak diminati anak-anak muda. “Banyak anak muda sekarang tidak berminat sebagai seorang penjahit,”keluh Hana, sapaan akrabnya sehari-hari. Padahal, katanya, konveksi telah menjadi jantung perekonomian masyarakat Desa Batangsaren, dikarenakan hampir setiap penjuru masyarakat desa ini mempunyai usaha konveksi. Bahkan konveksi merupakan usaha ekonomi masyarakat Desa Batangsaren yang dilakukan secara turun temurun. Hana mengakui, usaha kecil berupa konveksi saat ini sudah mulai surut. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya jaminan dari pemerintah mengenai standart patokan harga pasar, utamanya di pasar lokal Tulungagung. Sehingga mengakibatkan banyak para pemodal besar mempermainkan harga bahan utama konveksi. “Biasanya saat permintaan pasar banyak, stok kain di kurangi,”terangnya. Monopoli harga ini biasa dan rutin terjadi bila saat pesanan konsumen banyak, maka kain di pasaran seakan-akan langka dan pemodal mengatakan kainya sudah habis dan tidak produksi. Alasan itulah yang biasanya dijadikan alibi untuk menaikkan harga kain di pasaran. Akibatnya, harga produksi tidak sesuai dengan harga jual di pasar. Ia membeberkan, untuk produksi biasanya dia membeli kain dan bahan-bahan produksi lainya secara cash, ini belum termasuk beban biaya tenaga produksi. “Namun biasanya untuk pemesan (konsumen) ngutang duluan,”beber Hana. Hana menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya persatuan pengusaha konveksi sehingga menjadikan persaingan pasar semakin tidak terkendali. Persaingan antar pengusaha konveksi tidak bisa terbendung lagi dikarenakan belum adanya organisasi yang menaunginya. Akibatnya, banyak anak muda yang meninggalkan profesi ini, mereka memilih untuk bekerja keluar daerah bahkan ada yang bekerja keluar negeri. Sehingga sulit untuk mendapatkan tenaga profesional dan memadai. “saat banyak order, kami bingung untuk mencari tenaga profesional, guna membantu menyelesaikan pekerjaan (menjahit) ini,”keluh Hana. Menurut dia, ada 6 persoalan yang dihadapi pengusaha konveksi skala kecil, yaitu kurang modal, berkurangnya tenaga profesional, belum adanya persatuan antar pengusaha konveksi, tidak tertatanya managenmen, permainan pasar kain oleh pemodal dan semakin banyaknya produk-produk garment yang datang dari luar dan tidak terkontrol. Selain itu, ancaman besar yang paling menghantui pengusaha konveksi local adalah harga kain yang didatangkan dari luar negeri, ternyata lebih murah dari pada harga kain hasil produk dalam negeri. Menyikapi keadaan ini, seharusnya pemerintah memberikan kontrol terhadap harga pasar kain, khususnya yang didatangkan dari luar negeri, agar tidak merusak harga kain lokal. Hana menegaskan, kalaupun ada pemodal yang ingin masuk di wilayah Tulungagung harus seizin pemilik produksi kecil setempat. “Seharusnya pemerintah tegas melarang para pemodal besar masuk tanpa seizin pengusaha kecil di sini, kecuali mereka mau bekerja sama dengan kita dalam bentuk kontrak kerja,”tandasnya. Pemerintahpun perlu memberikan perhatian dalam bentuk jaminan atas kelayakan produksi dalam negeri serta mendukung atas hasil produksi dalam negeri. Pemerintah semestinya juga memberikan peluang atas hasil produksi warganya, sehingga bisa lebih berkembang, termasuk membantu permodalan dan jaringan pasarnya. Selama ini pemerintah hanya memberi peluang kepada pemilik modal besar saja dan melupakan kondisi industri kecil. |
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Kembangkan Koperasi di Pondok Pesantren
Pondok Pesantren (Ponpes) kini tak lagi melulu berurusan dengan ngaji kitab kuning. Kenyataannya, Ponpes telah terbukti mampu berkembang merambah ke berbagai bidang. Salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi para santri dalam bentuk koperasi. Tengok saja Koperasi Daruttaibin di Ponpes Daruttaibin Desa Campurdarat Kecamatan Campurdarat, Tulungagung. Selain ngaji, Ponpes ini juga mengajari santrinya untuk praktek langsung berkoperasi. Menurut salah satu penggerak Koperasi Daruttaibin, Istiqomah, pada awalnya kegiatan ekonomi ini hanya dilakukan oleh kalangan internal ponpes sendiri, karena hanya menyediakan kebutuhan para santriwan dan santriwati seperti kitab kuning dan kebutuhan pokok lainnya. Dikatakannya, untuk sementara yang banyak membutuhkan barang-barang koperasi adalah santri perempuan. Sedangkan untuk santri laki-laki biasanya hanya titip bahan atau pesan saja, seperti sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya. Pada dasarnya keberadaan koperasi di Ponpes ini dimaksudkan untuk memperlancar proses belajar mengajar. Bagai para santri yang belum memiliki uang untuk mencukupi kebutuhannya, seperti kitab dan lain-lain, mereka bisa pinjam di koperasi. ”Apabila sudah punya uang, pinjaman bisa dilunasi di kemudian hari,”terang Istiqomah. Kehadiran koperasi di Ponpes Daruttaibin sangat dirasakan manfaatnya oleh para santri. Romdhoni, salah seorang santri, mengaku sangat terbantu dengan adanya koperasi tersebut. ”Koperasi benar-benar membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari santri. Apalagi, santri boleh ngutang dan boleh mengembalikan kapan saja kalau sudah punya uang,”ujar santri yang akrab dipanggil Dhoni ini. Selain menyediakan kebutuhan proses belajar mengajar, melalui koperasi para santri juga diajarkan untuk belajar membangun ekonomi. Seperti saat koperasi mendapat pesanan jajan atau kue dari masyarakat sekitar, maka para santri perempuan diajari untuk belajar membuat kue. Para santri pun merasa senang dengan kegiatan tambahan di pondok. Selain belajar ilmu-ilmu agama, para santri juga belajar berbagai ketrampilan hidup. seperti yang di ungkapkan bapak Jazuli ”Para santri senang diajak belajar di luar kegiatan ngaji, seperti bertani, beternak maupun yang lainnya,”tutur bapak Jazuli, salah satu pengasuh Ponpes Daruttaibin. Libatkan Masyarakat dalam Pengembangan Koperasi Dalam perkembangannya, kegiatan koperasi di Ponpes ini ternyata dilirik masyarakat sekitar. Bahkan, sebagian diantaranya ikut bergabung. ”Ini sebagai langkah awal untuk membangun perekonomian masyarakat agar lebih bisa berkembang. Sebagai kader pesantren kita harus bisa bersosialisasi dengan masyarakat,”terang Istiqomah menambahi. Seiring dengan berjalannya waktu, para penggerak Koperasi Daruttaibin menginginkan agar unit usaha koperasi dikembangkan tidak hanya di bidang perdagangan, namun juga simpan pinjam. Dengan modal Rp 6 juta, penggerak koperasi yang dipelopori oleh bapak Kholik mencari anggota, yang diambil dari masyarakat sekitar Ponpes Daruttaibin. Mengingat langkah ini mempunyai prospek yang sangat besar, maka Koperasi Daruttaibin kemudian dikelola secara lebih serius. Anggotanya kini mencapai anggota 20 orang. Adapun simpanan pokoknya ditentukan sebesar Rp 60 ribu dan simpanan wajibnya sebesar Rp 5 ribu. Untuk membangun kebersamaan, setiap satu minggu sekali anggota koperasi membuat pertemuan rutin untuk dengan agenda pengajian yang diasuh oleh Pengasuh Ponpes Daruttaibin, KH Moh Damanhuri Risya. Dalam kesepakatannya, anggota koperasi berhak mengajukan pinjaman, namun dengan jumlah yang ditentukan. Ini karena modal koperasi masih terbatas. Besarnya pinjaman, untuk setiap anggota dibatasi paling besar Rp 600 ribu. ”Sesuai kesepakatan, masing-masing anggota koperasi boleh meminjam maksimal Rp 600 ribu,”terang Istiqomah. Dijelaskannya, jika nanti ada yang pinjam lebih dari jumlah yang ditentukan, maka di kahawatirkan anggota yang lainnya banyak yang tidak kebagian. Istiqomah menambahkan, modal koperasi masih sedikit. ”Makanya bila yang pinjam lebih dari ketentuan dikawairkan anggota yang lainnya tidak kebagian,”tuturnya. |
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Membangun Kemandirian Kelompok Lewat Ternak Kambing
Menjadi kebanggan tersendiri bagi Sujilah, salah satu anggota Kelompok Masyarakat Mandiri (KMM) Sumber Makmur Desa Tugu Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung. Ia membuktikan bahwa berkelompok ternyata memberikan manfaat yang luar biasa, yang tidak pernah didapatnya sebelum bergabung dengan KMM Sumber Makmur. Saat ini Sujilah sudah bisa mempunyai 4 ekor anak kambing yang didapatnya dari hasil perjuangannya mengembangkan potensi anggota KMM Sumber Makmur melalui budi daya ternak kambing. “Alhamdulillah, kambing saya sudah beranak 4 ekor dalam waktu kurang dari 1 tahun,”paparnya dengan nada gembira. Sujilah merupakan satu dari 25 orang anggota KMM Sumber Makmur yang pada tahun 2008 dan 2009 ini berhasil membudidayakan kambing ternak. Sumber dana pembelian bibit kambing berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Tulungagung Tahun 2008. Setiap anggota kelompok awalnya cuma mendapat alokasi bibit kambing ternak sebanyak 1 ekor. Setelah dipelihara antara 6 sampai 1 tahun, kini rata-rata kambing-kambing ternak itu sudah berkembang biak dengan baik, bahkan hingga 4 ekor seperti milik Sujilah. “Saya mendapatkan kambing tersebut dari Kelompok Sumber Makmur terhitung sejak tanggal 2 Agustus 2008. Saya berharap kambing-kambing ini bisa terus berkembang lagi sehingga dapat menjadi modal untuk masa depan yang lebih baik,”ujar Sujilah. Perawatan Kambing Ternak Menurut dia, memelihara kambing sebenarnya gampang-gampang susah. Menjadi gampang jika peternak bisa mencari pakan sendiri di sekitar lahan pertanian yang dimiliki. Tetapi bisa susah bila peternak kehabisan pakan, sehingga harus membeli. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peternak dalam perawatan kambing. Diantaranya selalu memperhatikan kebersihan kandang dan kesehatan ternaknya. Setiap 5 hari sekali kondisi kesehatan kambing harus dicek. Kalau di tubuhnya terdapat kutu harus diberi obat. Sujilah biasanya memakai kapur semut untuk membunuh kutu kambing. Disamping itu, agar bersih dan sehat, 15 hari sekali kambing ternak perlu dimandikan. Untuk pakan ternak, biasanya diberikan 2 kali sehari yakni pagi dan sore. Misalnya jam 07.00 pagi dan jam 17.00 sore dan setiap harinya diusahakan selalu mendapatkan asupan makanan. Jangan sampai kambing kehabisan makanan atau peternak terlambat memberi makanan. Di sisi lain, Sujilah juga memberi nutrisi tambahan pada kambing-kambing ternaknya dengan minuman air leri (air perasan beras yang akan dimasak) agar kambing cepat gemuk. Pemberian air leri dilakukan setelah kambing diberi makan. Tidak lupa dalam setiap 2 bulan sekali dikasih jamu untuk menjaga agar ternak tetap enak makan dan sehat. Semua itu dia lakukan untuk menjaga agar aset kelompok tidak mandek, sekaligus menjaga aset pribadi. ”Kambing ini kan aset saya sekaligus aset kelompok, jadi saya sangat bangga dan senang sekali bisa merawatnya,”ungkap Sujilah. Membangun Kemandirian Cerita Sujilah adalah salah satu kisah sukses KMM Sumber Makmur Desa Tugu Kecamatan Sendang dalam upaya membangun kemandirian anggotanya melalui budi daya ternak kambing. Namun, dalam perjalanannya bukan berarti tanpa hambatan. Sebut saja misalnya kambing milik Ibu Timi, Ketua KMM Sumber Makmur yang akhirnya mati sebelum beranak pinak karena terkena penyakit. Beruntung pada sekitar bulan Maret 2009 lalu kelompok ini mendapatkan alokasi anggaran melalui Program Kemitraan Penanggulangan Kemiskinan dari Bappeda Tulungagung, sehingga kambing ternak Ibu Timi yang mati dapat diganti dengan bibit kambing ternak baru yang lebih baik. Bendahara KMM Sumber Makmur, Muktamat, mengatakan, sejauh ini belum ada kendala berarti dalam pengelolaan ternak kambing di kelompoknya. ”Hanya ada 1 kambing yang mati itu punya mbak Timi, akan tetapi sudah diganti dengan yang baru,”jelasnya. Melalui budi daya ternak kambing ini, tambah Muktamat, setidaknya kelompok dapat membantu dalam menyelesaikan masalah anggotanya, terutama dalam meningkatkan pendapatan keluarga. “Itulah untungnya berkelompok, kalau ada masalah bisa cepat terselesaikan bersama-sama,”ungkapnya. Sementara itu Sujilah mengaku saat ini merasa bangga karena kelompok sudah dapat mengelola agenda dan keuangannya sendiri. “Kelompok Sumber Makmur sedikit demi sedikit sudah mulai bisa mandiri, sehingga ke depan anggota kelompok bisa mengembangkan sendiri dalam usahanya menciptakan lapangan pekerjaan,”terangnya. Tak hanya beternak kambing, upaya membangun kemandirian juga dilakukan oleh KMM Sumber Makmur melalui rencana membuat usaha bersama berupa makanan ringan (kue) menyambut Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Rencananya, kue ini akan dijual ke pasar. Jika laku, tentu bisa menjadi modal usaha bagi kelompok untuk membentuk koperasi di masa-masa yang akan datang. Lebih jauh, Muktamat memiliki harapan besar terhadap keberadaan kelompoknya, yakni bisa membantu sebagian masyarakat Kecamatan Sendang, khususnya di Desa Tugu dalam mengentaskan kemiskinan dan membuat lapangan pekerjaan bagi warga. Bahkan, kelompok ini bercita-cita hendak membentuk koperasi. “Saat ini KMM Sumber Makmur sudah mempunyai aset kurang lebih Rp 500.000, ini pun belum semuanya ngumpul. Aset itu diperoleh dari hasil kesepakatan kelompok melalui iuran kas kelompok. Menurut kesepakatan, setiap anggota kelompok yang dapat kambing diwajibkan memberikan uang kas kepada kelompok sebesar Rp 50.000 per bulan. Semoga ini menjadi modal kebangkitan kelompok,”tambah Muktamat. Iuran kas Rp 50.000 dilakukan sebagai upaya mengikat anggota kelompok. Langkah ini diambil sebagai bentuk kepedulian dan komitmen anggota kelompok untuk bisa terus bertahan dan berkembang. Selain itu juga sebagai antisipasi apabila ada kambing dari salah satu anggota kelompok kena penyakit akan dibantu biaya pengobatannya atau bilamana ada kambing yang mati akan diganti dengan uang kas kelompok. |
Petani Sendang Kesulitan Air, PDAM Jadi Sorotan
Mayoritas warga Kecamatan Sendang sehari-harinya bekerja sebagai petani. Letak geografisnya sangat mendukung karena berada di bawah lereng Pegunungan Wilis yang subur dan potensial untuk lahan pertanian, agrowisata maupun agrobisnis. Namun, keadaan sekarang berbalik menjadi malapetaka bagi para petani, sebab mereka kini kesulitan mencari air untuk mengairi sawahnya. Hal itu diakui Jasmanto, salah satu petani asal Desa Tugu Kecamatan Sendang. “Saat ini saya hanya pasrah karena amat sulit mendapatkan air bagi sawah saya,”kata Jasmanto yang mengaku memiliki lahan jagung. Untuk memperoleh giliran air, sebenarnya para petani yang tergabung dalam HIPPA (Himpunan Petani Pengguna Air), dalam 15 hari biasanya dijatah 1 kali pengairan sawah. Tapi kini harus menunggu hingga 3 minggu (21 hari). “Setiap kali mendapatkan giliran harus rela menunggu 1 hari 1 malam untuk bisa mengairi seluruh lahan pertanian sawah saya.Bahkan harus rela menyisir aliran air agar aman dari penyerobotan air oleh oknum tertentu,”jelas Jasmanto. Kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya masa tanam dan panen setiap tahunnya. Sebelumnya, dalam 1 tahun bisa panen sebanyak 3 kali, namun saat ini cuma 2 kali panen karena kekurangan air. ”Dulu walau saat musim kemarau tiba, sedikit-sedikit ada air, namun musim ini air benar-benar sulit didapatkan,”tambahnya. Jasmanto mengakui, sebenarnya wilayah Sendang cukup kaya mata air yang mengalir dari puncak Pegunungan Wilis, hanya saja belakangan ini debit airnya terus berkurang. Akibatnya, pendapatan petani juga berkurang. Padahal, mereka sangat bergantung dengan aliran mata air tersebut. PDAM Jadi Sorotan Lebih lanjut dia menyebutkan, menyusutnya debit air Pegunungan Wilis salah satunya diperkirakan karena air di wilayah itu sebagian diambil dan ”diperjualbelikan” oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) setempat. ”Saya contohkan, dalam setiap harinya penampungan air yang berada di Desa Tugu diambil oleh truk pengangkut air minum (PDAM). Dan tak tanggung-tanggung, setiap harinya ada 5 tangki air yang diangkut untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat kota (Tulungagung),”terang Jasmanto. Kesulitan air yang dialami para petani di Kecamatan Sendang juga dibenarkan oleh Parlan, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Tugu. ”Secara umum masyarakat Sendang mengalami nasib yang sama dengan Pak Jasmanto. Ini jelas tidak sebanding dengan kontribusi sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat Sendang. Masak yang punya mata air malah gak kebagian air,” tukas Parlan. Ditambahkannya, pernah suatu ketika seorang warga Desa Dono Kecamatan Sendang menceritakan bahwa hampir setiap hari warga desa tersebut selalu kekurangan air. Penyebabnya, air yang ditampung di tandon air (penampungan) Desa Tugu diambil oleh PDAM. Akibatnya, desa-desa yang terletak di bawah Desa Tugu seperti Desa Dono dan sekitarnya menjadi tidak kebagian air. ”Bila yang terjadi seperti ini maka pemerataan pun tidak ada, sehingga yang rugi adalah masyarakat sendiri,”jelas Parlan. Sebenarnya derita para petani Sendang sudah terjadi sejak dulu, namun mereka hanya bisa pasrah dan biasanya hanya menjadi pergunjingan di masing-masing individu, sehingga mandek tanpa ada tindak lanjut. ”Pernah suatu ketika saya mendatangi PDAM Cabang Sendang, tapi karena gak ada yang menindak lanjuti ya.. sekarang mandek,”ungkapnya. Kondisi tersebut tak pelak juga membuat Mungin, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Tugu mengernyitkan dahi. Dia mengakui, meski air terus diambil oleh PDAM, namun masyarakat Sendang sendiri justru tidak mendapat manfaat dari hasil pengelolaan air PDAM. ”Ini kan gak adil,”cetusnya. Mungin menambahkan, Sendang sebagai area peternakan sapi perah, sangat bergantung pada air untuk memenuhi kebutuhan air minum sapi perah. Dia meminta pemerintah segera tanggap dan memberikan prioritas pembagian air kepada para petani maupun peternak di Kecamatan Sendang. Mungin juga meminta agar Sendang tidak disamakan dengan daerah lain, karena kondisinya memang berbeda. Menurutnya, kesulitan air yang terjadi di kawasan Sendang dapat dilihat dari saluran-saluran irigasi yang kering, air tidak mengalir, sehingga kanal-kanal air pun tidak berfungsi dengan baik. ”Kalau begitu mana bisa untuk irigasi. Mestinya pemerintah memiliki peran bagaimana agar pengelolaan air bisa merata dan tidak merugikan warga. Selain air PAM juga sistem irigasi airnya dibenahi sehingga petani tidak merugi,”ujar Mungin. Biaya Air Juga Mahal Masalah air tak hanya menimpa petani, tapi juga sebagian besar warga Sendang yang menjadi pelanggan PDAM. Mereka kini dihadapkan dengan mahalnya harga air yang ditetapkan PDAM, bahkan dari tahun ke tahun cenderung naik. Saat ini harganya mencapai Rp 21.800 per meter kubik. Padahal sebelumnya cuma Rp 12.000, sebelum naik menjadi Rp 16.500. Apalagi, pemakaiannya juga dibatasi. Setiap rumah atau KK (Kepala Keluarga) dijatah hanya 10 meter kubik. Kalau melebihi jatah dikenakan denda. Kondisi ini, kata Mungin, dinilainya sudah tidak masuk akal. ”Kalau PDAM mengambil air dari wilayah kita, kok dijual lagi kepada kita, dengan beban biaya yang mahal pula,”tukas Mungin sambil bertanya-tanya seakan-akan tidak percaya. Dia berpendapat, krisis air ini terjadi karena ulah PDAM sendiri yang main sedot tanpa mau repot, padahal masyarakat, petani dan peternak Sendang lah yang akhirnya menjadi korban. Krisis air semakin terasa ketika musim kemarau tiba seperti sekarang ini. ”Situasi ini sungguh tidak adil, saat kita di sini krisis air, PDAM terus menyedot air yang ada di penampungan, kita dapat apa,” ungkap Mungin yang terus bertanya-tanya. Parlan memaparkan, beban biaya air yang dikenakan PDAM dirasakan sangat mahal bagi masyarakat Sendang yang mayoritas bekerja sebagai petani. Sungguh ironis daerah yang sangat kaya akan kandungan air malah menanggung beban pembiayaan air. ”Kita yang berada di sini mati-matian menghemat air, malah PDAM yang menghabis-habiskan air,”ungkapnya. Katanya, kalau keadaan ini terus dibiarkan akan menimbulkan penderitaan yang lebih parah bagi warga Sendang. Solusinya, biaya air harus murah atau hentikan pengambilan air dari penampungan. |
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Pesantren Daruttaibin Gelar Pelatihan Jurnalistik
Pondok pesantren Al-Islami Assalafi Daruttaibin, Campurdarat melakukan kegiatan alternatif dalam mengisi kegatan pondok Ramadan. Para santri biasanya hanya diajari ngaji kitab kuning dan sorokan alquran. Tetapi, kemarin (23/08) sebanyak 30 santri putra dan putri mengikuti Pelatihan jurnalitik. Pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan kerjabareng Pondok Pesantren Al-Islami Assalafi Daruttaibi dengan Radar Tulungagung dilaksanakan sekitar pukul 10.00 sampai 12.00 wib. Pelatihan ini diawali dengan sambutan ketua panitia dan dilanjutkan sambutan pengasuh sekaligus membuka kegiatan yang di sampaikan langsung oleh beliau KH. Moh. Damanhuri Risya. setelah acara pembukaan disepenuhnya diserahkan kepada pemateri. Dalam Pelatihan tersebut, Redaktur Radar Tulungagung Aris Hariyanto memberikan beberapa materi. Diantaranya, menulis berita, tipe-tipe wartawan, dan bagaimana teknik wawancara. Aris menyebutkan, seorang wartawan selain dituntut bisa membuat berita menarik, juga harus menyajikan berita esklusif. Dan untuk bisa mencari berita-berita esklusif, seorang wartawan harus mempunyai jaringan, serta mempunyai ide-ide yang berbeda dengan wartawan lain. Diklat yang berlangsung dua jam ini, terjadi proses dialog yang cukup gayeng. Begitu, Aris Hariyanto memberikan waktu untuk bertanya, para santri sangat antusias bertanya. Para santri sebagian besar bertanya tentang bagaimana menjadi wartawan yang professional. Selain itu, mereka juga bertanya bagaimana mendapatkan engel menarik, ketika usai wawancara dari lapangan. “Terkadang, seorang wartawan sudah wawancara banyak, tapi begitu masuk ke kantor, dia kesulitan menulis, bagaimana cara menghindari hal tersebut?,” Tanya salah satu santri. Mendapat jawaban tersebut, Aris menyatakan, di jawa pos ada rukun iman jawa pos. diantaranya, ketokohan, kedekatan, terkini atau paling gress. “Dan wartawan harus mencari, mana yang menarik,” katanya. Aris juga menjelaskan, seorang wartawan harus dituntut berani dalam mengungkap sebuah fakta yang terkadang tidak terungkap dalam kenyataan. “Seorang wartawan boleh bersimpatik, tapi jangan sampai terbawa emosi,” katanya. Aris menambahkan, seorang jurnalis diharapkan independent. Meski terkadang, independent tersebut sangat sulit. “Kita harus melihat situasi dan kondisi, contohnya, ketika Negara kita diserang, maka seorang jurnalis bisa menulis sesuai keinginan Negara,”ujarnya. Sementara itu, Ketua panitia pelatihan Jurnalistik Pesantren Assalafi Daruttaibin, Ahmad Safi’I menyatakan, latar belakang diadakan diklat jurnalistik ini adalah agar eksistensi para santri semakin eksis. Sebab, tidak jarang para santri dianggap sebelah mata dalam eksistensi di masyarakat. Karena itu dengan kegiatan pelatihan jurnalistik, maka para santri bisa menambah wawasan. Sehingga meningkatkan kapasitas santri dan mengkoordinasikan dengan pihak yang berkepentingan dalam proses pembelajaran. Kedua, santri semakin aktif dan partisipatif dalam pengembangan media jurnalistik di pesantren. “Kami berharap setelah diklat ini mereka bisa mengisi majalah dinding sebagai mengembangkan sarana pesantren,” katanya. |
Satu lagi, Buruh Migrant Menjadi Korban Kekejaman Majikan
Kabar duka kembali menimpa pahlawan devisa asal Tulungagung. Indri Mulyati, 28, dilaporkan tewas di Sarqiah, Al-Jubeil, Arab Saudi. Buruh Migrant Permpuan warga Dusun Salam, Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, itu diduga tewas karena dihajar majikannya bernama Hamat Aedh Al Syamri. Indri Mulyati, warga Dusun Salam, Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, Tulungagung, dikabarkan tewas saat di Arab Saudi. Wanita 28 tahun itu meninggal akibat mengalami kekerasan sang majikan. Kabar kematian Indri Mulyati membuat Suryanto (suaminya) menjadi syok. Saat ditemui di rumahnya di Dusun Salam, Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, kondisi pria bertubuh kurus itu memprihatinkan. Dia mengalami tekanan mental (depresi). Ayah dari Rahma Maulida itu juga sakit. Suryanto mengaku terpukul dengan kabar kematian perempuan yang dinikahinya pada 2003 itu. Apalagi, kematian istrinya diduga karena kekerasan yang dilakukan majikan. Punggung perempuan kelahiran Ponggok, Kabupaten Blitar itu dipukul kayu oleh majikan yang berada Sarqiah, Al Jubail, Arab Saudi. “Saya menerima kabar tentang istri saya sekitar pukul 10.00 kemarin. Yakni ditelepon oleh rekan kerja istri saya sesama TKW dari Jawa Barat,” ucap Suryanto dengan nada terbata-bata. Suryanto menuturkan, dalam telepon, TKW asal Jawa Barat tersebut memastikan apakah benar memiliki istri bernama Ani yang bekerja di Sarqiah, Al Jubail, Arab Saudi. “Awalnya saya bilang tidak. Karena dia bilang istri saya bernama Ani bukan Indri Mulyati. Tapi setelah dia menerangkan bahwa Ani memiliki suami bernama Suryanto, warga Dusun Salam, Desa Notorejo, langsung saya benarkan informasi tersebut” ucapnya. Mendapat kabar itu, dirinya langsung lemas. Apalagi TKW asal Jawa Barat itu memberi keterangan bahwa istrinya tewas karena bentrok dengan majikannya bernama Hamat Aedh Al Syamri. Majikan tersebut memukulkan kayu ke punggung istrinya. “Wah saya nggak kuat mikir, istri saya tewas disebabkan hal yang saya kurang tahu. Pasalnya, semua itu berdasarkan telepon. Pokoknya saya hanya meminta agar istri saya dipulangkan ke sini baik hidup atau mati,” katanya dengan menunjukkan foto istrinya. Suryanto melanjutkan, berdasarkan informasi yang dia terima, istrinya tewas pada hari Rabu 19 Agustus lalu. Namun, informasi itu baru dia terima pada 24 Agustus. “Mendapatkan kabar itu, langsung saya laporkan ke kepala desa. Setelah dicek kepala desa, ternyata informasi itu benar,” terang Suryanto. Masih menurut Suryanto, istrinya berada di Arab Saudi sekitar 3 bulan 20 hari. “Dia berangkat dari Tulungagung ke Arab pada 9 Juli. Bahkan dia minta doa kepada saya agar segera dapat kirim uang,” katanya. Suryanto menambahkan, sebelum diterimanya kabar tersebut dia sempat mendapatkan firasat melalui mimpi. Dalam mimpi, dirinya salat berjamaah dengan istrinya di Mekkah. “Dalam mimpi saya, tiba-tiba dia menghilang di balik padang pasir,” ujarnya. Orang tua Suryanto bernama Jarlah, 55, mengatakan, pihaknya juga sudah koordinasi dengan Agen Jasa Penyedia Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang memberangkatkan Indri Mulyati. Perwakilan PJTKI berada di Desa Pakel, Kecamatan Ngantru. “Kami sudah melaporkan kepada PJTKI. Katanya semuanya akan ditanggung oleh pihak Arab Saudi. Nantinya juga mendapatkan santunan Rp 1 juta,” kata Jarlah sambil menitihkan air mata. Jarlah mengatakan, dirinya berharap agar pemerintah ikut menyelesaikan masalah ini. “Kami orang desa, nggak ngerti masalah ngurus-ngurus hal itu,” kata Jarlah. Begitu sayang Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertras) Tulungagung belum merespon mengenai hal tersebut. (Tri_RaTu agustus 2009) |